Selasa, 02 November 2010

Beberapa detik yang berarti.....

Terkadang ketika kita sedang marah atau jengkel dengan suatu keadaan atau seseorang, bagi orang-orang yang ekspresif, seperti saya misalnya...hehe...paling enak memang kalau bisa langsung diungkapkan. Lega rasanya kalau udah mengeluarkan semua uneg-uneg. Tapi akibatnya saking ekspresifnya, terkadang kita terlalu berlebihan seakan-akan itu adalah masalah yang besar. Seakan-akan orang yang udah membuat kita jengkel itu nyebelinnya minta ampun. Tapi jujur, kalau kita mau bertanya lagi pada hati nurani kita yang paling dalam, benarkah kita lega sesudah menceritakan uneg-uneg kita itu? Jujur, kalau saya malah ada sebentuk penyesalan setelah mengungkapkannya. Karena tidak jarang kita jatuhnya malah ghibah dn menjelek-jelekkan orang lain. Atau kalau itu menyangkut masalah keadaan, jatuhnya malah berlebihan. Penyesalan itu adalah karena kita tidak bisa menjaga lisan kita. Dan ketika kita tidak bisa menjaga lisan kita dengan baik, maka hati kita pun menjadi keras dan hampa. Ini saya rasakan sendiri ketika saya tidak bisa menjaga lisan saya.

Karena itu, ketika kita ingin mengungkapkan sesuatu, apapun itu, cobalah untuk beberapa detik menyediakan waktu bagi pikiran kita untuk memfilternya. Biarkan pikiran kita memilahnya dengan bertanya, "Pantaskah saya berkata ini?", "Apa akibatnya kalau saya katakan ini?", "Apakah tidak terlalu berlebihan atau perlukah saya mengatakan ini?". Dialog-dialog kecil yang terjadi di alam pikiran kita itu lah yang akhirnya akan memberikan semacam suggestion kepada diri kita untuk memutuskan apakah kita perlu untuk mengatakan sesuatu itu atau tidak.

Dan saya pun mencoba untuk melakukannya. Kemarin ketika saya tidak suka dengan perkataan seorang teman kepada saya, perasaan saya jadi ga enak. Hampir saja saya curhat kepada teman saya yang lain. Tapi akhirnya saya berpikir kembali apakah penting bagi saya untuk menceritakannya hanya untuk sekedar melegakan hati saya saat itu namun berujung penyesalan kemudian karena saya tidak bisa menjaga lisan saya? ya, akhirnya saya memutuskan untuk diam. Tapi bukan untuk dipendam lho ya. Karena kalau dipendam ya sama saja. Marah atau jengkelnya tetap ada, hanya saja disimpan dalam hati. Padahal kata Ustadz Danu (bengkel Hati), kebiasaan memendam rasa jengkel itu justru akan menimbulkan penyakit. Jadi Diam disini adalah berusaha untuk melupakannya dan menganggapnya bukan suatu masalah yang harus menyita pikiran dan hati kita. Lupakan dan buang saja. Selesai. Jadi hal itu tidak akan menjadi masalah lagi untuk kita. Dan hidup kita pun jadi terasa ringan kan...

Ya, itulah beberapa detik yang berarti. Beberapa detik yang bisa menyelamatkan kita dari bahaya lisan kita sendiri. Yang kalau kita tidak hati-hati menjaganya malahan dapat mengantarkan kita mencicipi dahsyatnya azab api neraka...Na'udzubillahimindzalik...

1 komentar:

NitNot mengatakan...

aku link tulisanmu ya :)